Teori Generatif
Pembicaraan tentang berbagai teori
belajar bahasa itu dapat diibaratkan sebagai sebuah kontinuum. Di ujung yang
satu berdiri tegak teori behaviorisme dan di ujung lain berdiri kukuh teori
yang akan kita bahas sekarang ini, yakni teori generatif. Teori generatif
mengguakan pendekatan rasionalistik. Teori itu melemparkan pertanyaan yang
lebih dalam untuk mencari penjelasan yang gamblang dan jelas tentang rahasia
pemerolehan dan belajar bahasa. Kegagalan atau setidak-tidaknya penjelasan yang
masih bersifat parsial dari pandangan behaviorisme tentang bahasa anak-anak
menyebabkan kita bertanya lebih banyak lagi. Tidak ada penelitian ilmiah yang
menunjukkan kedalamannya dan ketuntasannya.
Ada dua tipe teori generatif yang telah
membuat markanya masing-masing dalam penelitian bahasa. Keduanya beragih ujung
yang sama pada kontinuum. Tipe pertama ialah golongan nativis dan kedua ialah
golongan kognitivis.
a. Nativisme
Istilah
nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa
ditentukan oleh bakat. Bahwa kita dilahirkan itu sudah memiliki bakat untuk
memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh
dukungan dari berbagai sisi. Eric Lenneberg (1967) membuat proposisi bahwa
bahasa itu merupakan perilaku khusus manusia dan bahwa cara pemahaman tertentu,
pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan
ditentukan secara biologis. Chomsky (1965) menyatakan dengan cara yang hampir
sama bahwa eksistensi bakat tersebut bermanfaat untuk menjelaskan rahasia
penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu yang singkat. Padahal, kaidah bahasa
begitu banyak. Menurut Chomsky, bakat bahasa itu terdapat dalam kotak hitam (black box) yang disebutnya sebagai language acquisition device (LAD) atau piranti
pemerolehan bahasa. McNeill mendeskripsikan LAD itu terdiri atas empat bakat
bahasa, yakni:
1)
kemampuan membedakan bunyi ujaran dengan bunyi yang
lain dalam lingkungannya;
2)
kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam;
3)
pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin
dan sistem yang lain yang tidak mungkin;
4)
kemampuan untuk tetap mengevaluasi sistem perkembangan
bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana
dari data kebahasaan yang diperoleh.
Untuk memahami dengan baik konsep LAD McNeill itu, perhatikanlah
anak-anak yang ada di sekeliling Anda. Ardo, misalnya, adalah seorang anak laki-laki yang berusia
dua setengah tahun. Ia sudah pintar berkomunikasi dengan ayah dan ibunya, serta
kakak-kakaknya, bahkan dengan teman-temannya. Perhatikan dialog berikut ini.
Bapak : Ardo sudah mandi belum?
Ardo : Udah.
Bapak : Dingin enggak?
Ardo : Ndak. (Ardo biasa mandi memakai air
hangat).
(Tiba-tiba terdengar suara tokek berbunyi).
Pa, ada entek (maksudnya tokek).
Bapak : Bagaimana bunyi tokek, Ardo?
Ardo : Otok, otok, entek, otok, otok entek.
Bapak : Bunyinya entek, entek, begitu? (Bapaknya
mencoba menggodanya)
Ardo : Butan. Otok, otok entek, otok,otok, entek.
Bapak : (tertawa) Oh, otok,otok tekek, otok,otok
tekek, begitu?
Ardo : Iya.
Ardo yang berumur dua tahun itu
sudah bisa membedakan antara bunyi bahasa, yang hanya berasal dari alat ucap
manusia, dengan bunyi lain, yakni bunyi binatang tokek. Manusia sejak lahir
sudah dikaruniai bakat, kemampuan untuk dapat membedakan bunyi bahasa dengan
bunyi-bunyi lain di sekitarnya. Ketika Ardo dipanggil namanya, ia akan
menjawab. Tetapi, ketika, misalnya, ada seekor kucing mengeong di dekatnya, ia
tidak akan menjawab, suara kucing itu. Mungkin ia bereaksi, tetapi jelas bukan
untuk menjawab sang kucing, tidak seperti ketika ia dipanggil oleh teman,
kakak, atau oleh ayah dan ibunya.
Contoh peristiwa berikut ini adalah
bukti bahwa anak manusia sejak lahir sudah dikaruniai bakat untuk dapat
memiliki pengetahuan tentang kalimat yang mungkin dan kalimat yang tidak
mungkin. Kalau mau tidur, lazimnya Ardo dininabobokkan oleh ibu atau bapaknya
dengan lagu yang sudah sangat terkenal, yakni lagi Nina Bobok.
Ibu : Nina bobok, oh, nina bobok. Kalau nggak
bobok digigit nyamuk.
Ardo : (tampaknya belum tidur, dan menirukan
ibunya) Nina bobok, oh nina bobok,
talau ndak bobok dididit pak aum.
(Pak aum, maksudnya harimau).
Dari contoh itu jelas Ardo memproduksi ujaran yang belum pernah
dipajankan sebelumnya. Ia mampu menghasilkan ujaran-ujaran baru, yakni ujaran-ujaran
yang mungkin. Bentuk nyamuk
digantinya dengan harimau yang memang
secara gramatikal itu benar. Ia tidak akan memproduksi, misalnya, jika ndak bobok dididit minum. Ardo
sudah mempunyai kemampuan bawaan bahwa bentuk minum dalam hal ini tidak dapat menggantikan posisi nyamuk. Bahkan dalam kesempatan yang
lain ia memproduksi bentuk ujaran [dididit
aak (kakak), dididit mama, dididit titus, dididit anjin], dan seterusnya. Jadi,
kemampuan untuk membedakan kalimat yang gramatikal dan kalimat yang tidak
gramatikal sudah merupakan bakat bawaan manusia.
Perhatikan perilaku berbahasa Ardo
pada contoh di atas. Ardo belum dapat mengucapkan bunyi [k, g, ]. Ia juga belum
dapat mengucapkan bunyi [l, r]. Bahkan untuk menyebut [tokek] ia mengatakan
[entek]. Seiring perjalanan waktu ia akan terus-menerus mengevaluasi sistem
bahasanya dan pada saatnya nanti ia pasti akan dapat mengucapkan bunyi-bunyi
itu dengan tepat. Hal itu terjadi pada kakaknya, Fredo, yang sekarang sudah
berumur 12 tahun. Pada usia lima
tahun, Fredo mampu dengan baik mengucapkan bunyi, [k, g, l, r] dan juga dengan
tepat ia mengucpkan tokek, meskipun pada saat seusia Ardo, Fredo juga
menunjukkan perilaku berbahasa yang tak jauh berbeda dengan Ardo. Manusia
mempunyai bakat untuk terus-menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan terus-menerus
mengadakan revisi untuk pada akhirnya menuju bentuk yang berterima di
lingkungannya.
Argumentasi filosofis yang
dikemukakan McNeill (1968) tentang LAD itu benar-benar tepat dan langsung sasaran.
Menurut McNeill, karena teori stimulus-respons itu begitu terbatas, maka
masalah pemeroelhan dan pembelajaran bahasa itu jauh dari jangkauannya.
Proposisi LAD benar-benar mengarah pada aspek rawan pemerolean bahasa. Aspek makna, keabstrakan dan kreativitas dapat dijelaskan meskipun
hanya secara implicit. Jika tadi diconttohkan Ardo dapat secara kreatif
membentuk frase baru digigit kakak, digigit
bapak, digigit ibu, digigit anjing, digigit tikus dan sebagainya,
kreativitas semacam itu dapat dilacak dan dijelaskan karena manusia dikaruniai
bakat untuk berkreasi semacam itu. Ada
piranti yang dipolakan dalam otak manusia. Siapa yang memberikan? Tuhan Yang
Maha Agunglah yang memberikan karunia itu.
Mungkin kita akan menyangkal akan
adanya piranti pemerolehan bahasa atau
LAD itu karena pada kenyataannya piranti itu tidak kasat mata, tidak dapat
diobservasi. Yang dapat kita ketahui atau yang dapat kita lacak adalah gejala
pemerolehan bahasanya. Nah, Anda mungkin akan berkomentar bahwa kaum nativis
dalam hal ini tidak akan lebih baik dari kaum behavioris untuk memecahkan
misteri pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Namun, bagaimanapun juga, McNeill
telah memberikan sumbangan penting untuk penelitian lebih lanjut seperti sistem
bahasa yang abstrak, kesemestaan bahasa, teori makna, dan hakikat pengetahuan
manusia. Ini merupakan arah permulaan yang positif yang menghasilkan banyak
kemungkinan yang tidak diketahui oleh kaum
behavioris.
Sumbangan lain kaum nativis yang
dapat dianggap praktis ialah bukti bila kita melihat penemuan yang dibuat
tentang bagaimana sistem bahasa anak itu bekerja. Chomsky, McNeill, dan
koleganya membantu kita untuk melihat bahwa bahasa anak adalah sistem yang sah
dalam sistem mereka. Perkembangan bahasa anak bukanlah proses perkembangan
sedikit demi sedikit struktur yang salah, bukan dari bahasa tahap pertama yang
lebih banyak salahnya ke tahapan berikutnya. Bahasa anak pada setiap tahapan
itu sistematik dalam arti anak secara terus-menerus membentuk hipotesis dengan
dasar masukan yang diterimanya dan kemudian mengujinya dalam ujarannya sendiri
dan pemahamannya. Selama bahasa anak itu berkembang, hipotesis itu terus
direvisi, dibentuk lagi, atau kadang-kadang dipertahankan. Ardo, misalnya,
secara konsisten ia mengucapkan bunyi [k, g] menjadi [t dan d]. Perhatikan
ucapan kata-kata berikut ini oleh Ardo.
butan bukan
atu aku
patu paku
doyen goreng
dobok goblok
dsb.
Sebelum linguistik generatif menjadi
terkenal, Jean Berko (1956) menunjukkan bahwa anak belajar bahasa bukan sebagai
urutan yang terpisah-pisah, tetapi sebagai sistem yang integral. Dengan
menggunakan tes kosakata yang tak bermakna, Berko menemukan bahwa anak yang
berbicara bahasa Inggris sejak usia 4 tahun menerapkan kaidah pembentukan
jamak, present progressive, past tense,
tunggal ketiga dan posesif.
McNeill dan kawan-kawan menyajikan
kajian yang cepat tentang hakikat pemerolehan bahasa anak secara sistematik. Dengan
membuang jauh-jauh kendala behavioristik, peneliti bebas untuk membuat konstruk
hipotetis tentang bahasa anak, meskipun tata bahasa semacam itu selalu
berdasarkan pada data yang solid. Tata bahasa ini merupakan representasi formal
dari struktur batin, struktur yang tidak terwujudkan secara nyata dalam ujaran.
Ahli bahasa mulai meneliti bahasa anak dari bentuk awalnya yakni telegrafis
pada bahasa yang kompleks dari anak berusia 5 sampai 10 tahun. Dengan meminjam
istilah struktural dan paradigma behavioristik, mereka mendekati data dengan
makna pendahuluan untuk sistem yang konsisten secara internal, sama seperti
para linguis mendeskripsikan bahasa dari data lapangan. Penggunaan kerangka generatif
merupakan kajian dari metodologi struktural.
Model generatif memungkinkan
peneliti tahun 60-an mengambil langkah panjang untuk memahami proses
pemerolehan dan pembelajaran bahasa . Tata bahasa awal anak-anak mengacu pada
tata bahasa tumpu (pivot grammar).
Berdasarkan observasi, hal itu menunjukkan bahwa ujaran anak satu dua kata
mula-mula merupakan perwujudan dua kelas kata terpisah dan bukan hanya dua kata
yang dilemparkan bersama secara acak. Kaidah pertama bagi tata bahasa generatif
ialah:
Kalimat ------à
kata tumpu + kata terbuka
Pendekatan nativisme kepada bahasa
anak sekurang-kurangnya mempunyai dua sumbangan penting untuk memahami proses
pemerolehan bahasa pertama, yakni:
a)
bebas dari keterbatasan dari metode ilmiah untuk
menjelajah sesuatu yang tidak tampak, tak dapat diobservasi, berada di bawah
permukaan, tersembunyi, struktur kebahasaan yang abstrak yang dikembangkan oleh
anak;
b)
deskripsi bahasa anak sebagai sistem yang sah, taat
kaidah, dan konsisten.
c)
konstruksi sejumlah kekayaan potensial dari tata bahasa
universal.
b. Kognitivisme
Kerangka nativis pun masih mempunyai
kelemahan-kelemahan. Akhir tahun 60-an merupakan saksi pergeseran kontinuum,
tetapi bergerak lebih pada hakikat bahasa. Kaidah generatif yang diproposisikan
oleh kelompok nativis itu nerupakan sesuatu yang abstrak, formal, eksplisit,
dan logis, meskipun mereka berkaitan khususnya dengan bahasa dan buka tataran
bahasa yang sangat dalam, pada tataran di mana ingatan, persepsi, pikiran,
makna, dan emosi diorganisasikan secara berhubungan struktur super pikiran
manusia. Ahli bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan satu manifestasi dari
perkembangan umum, satu aspek dari kemampuan kognitif dan afektif yang
berkaitan dengan dunia dan dirinya sendiri. Para
ahli bahasa mulai melihat bahwa kaum nativis sebenarnya gagal untuk menemukan
hakikat makna yang sebenarnya. Kaidah yang diwujudkan dalam bentuk persamaan
matematika pada hakikatnya gagal untuk menangkap sesuatu yang sangat penting
dalam bahasa, yakni makna. Kaidah generatif yang dikembangkan oleh kaum nativis
gagal untuk menangkap dan menjelaskan fungsi bahasa.
Lois Bloom (1971) menunjukkan
kritiknya terhadap tata bahasa tumpu (pivot grammar). Ia menunjukkan bahwa
hubungan kata dalam ujaran telegrafik itu hanya mirip dalam permukaannya saja.
Ujaran sepatu ibu, misalnya, oleh
kelompok nativis selalu dianalisis terdiri atas unsur tumpu ibu dan kata terbuka sepatu. Menurut Bloom kalimat semacam
itu bisa saja mengandung tiga buah kemungkinan, yakni:
- Ibu memakai sepatu;
- Ibu melihat sepatu;
- Sepatu ibu.
Dengan melihat
data dalam teks, Bloom menyimpulkan bahwa yang mendasarinya ialah struktur dan
bukan hanya urutan kata dalam permukaan
saja. Gejala yang tersembunyi semacam
itu tidak akan ditangkap dalam tata bahasa tumpu.
Penelitian Bloom dengan Jean Piaget,
Slobin, dan lain-lain, merupakan penunjuk jalan bagi gelombang baru atas kajian
bahasa anak. Kali ini penelitian itu terpumpun pada prasyarat kognitif dari
perilaku berbahasa. Piaget mendeskripsikan perkembangan menyeluruh sebagai
hasil interaksi komplementer antara kapasitas kognitif perseptual pengembangan
anak dan dengan pengalaman kebahasaannya.
Slobin (1971) mengatakan bahwa dalam
semua bahasa, belajar semantik bergantung pada perkembangan kognitif. Urutan
perkembangan itu lebih ditentukan oleh kompleksitas semantik daripada
kompleksitas struktural. Bloom (1976) menyatakan bahwa penjelasan perkembangan
bahasa bergantung pada penjelasan kognitif yang terselubung. Apa yang diketahui
anak akan menentukan kode yang dipelajarinya. Untuk memahami pesan dan menyampaikannya.
Dengan demikian, peneliti bahasa
anak mulai mengatasi formulasi kaidah fungsi bahasa. Pada saat yang sama, ahli
bahasa teoretis mulai menyadari bahwa tata bahasa teoretis dalam gaya Chomsky, tata bahasa
transformasional mulai muncul dalam bentuk semantik generatif dan tata bahasa
kasus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar