Jumat, 22 Februari 2013

Teori Belajar Bahasa : Teori Generatif



Teori Generatif
            Pembicaraan tentang berbagai teori belajar bahasa itu dapat diibaratkan sebagai sebuah kontinuum. Di ujung yang satu berdiri tegak teori behaviorisme dan di ujung lain berdiri kukuh teori yang akan kita bahas sekarang ini, yakni teori generatif. Teori generatif mengguakan pendekatan rasionalistik. Teori itu melemparkan pertanyaan yang lebih dalam untuk mencari penjelasan yang gamblang dan jelas tentang rahasia pemerolehan dan belajar bahasa. Kegagalan atau setidak-tidaknya penjelasan yang masih bersifat parsial dari pandangan behaviorisme tentang bahasa anak-anak menyebabkan kita bertanya lebih banyak lagi. Tidak ada penelitian ilmiah yang menunjukkan kedalamannya dan ketuntasannya.
            Ada dua tipe teori generatif yang telah membuat markanya masing-masing dalam penelitian bahasa. Keduanya beragih ujung yang sama pada kontinuum. Tipe pertama ialah golongan nativis dan kedua ialah golongan kognitivis.

a. Nativisme
            Istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa kita dilahirkan itu sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi. Eric Lenneberg (1967) membuat proposisi bahwa bahasa itu merupakan perilaku khusus manusia dan bahwa cara pemahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan ditentukan secara biologis. Chomsky (1965) menyatakan dengan cara yang hampir sama bahwa eksistensi bakat tersebut bermanfaat untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu yang singkat. Padahal, kaidah bahasa begitu banyak. Menurut Chomsky, bakat bahasa itu terdapat dalam kotak hitam (black box) yang disebutnya sebagai language acquisition device (LAD) atau piranti pemerolehan bahasa. McNeill mendeskripsikan LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
1)      kemampuan membedakan bunyi ujaran dengan bunyi yang lain dalam lingkungannya;
2)      kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa  ke dalam variasi yang beragam;
3)      pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak mungkin;
4)      kemampuan untuk tetap mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.
Untuk memahami dengan baik konsep LAD McNeill itu, perhatikanlah anak-anak yang ada di sekeliling Anda. Ardo, misalnya,  adalah seorang anak laki-laki yang berusia dua setengah tahun. Ia sudah pintar berkomunikasi dengan ayah dan ibunya, serta kakak-kakaknya, bahkan dengan teman-temannya. Perhatikan dialog berikut ini.
Bapak  : Ardo sudah mandi belum?
Ardo    : Udah.
Bapak  : Dingin enggak?
Ardo    : Ndak. (Ardo biasa mandi memakai air hangat).
             (Tiba-tiba terdengar suara tokek berbunyi).
               Pa, ada entek (maksudnya tokek).
Bapak  : Bagaimana bunyi tokek, Ardo?
Ardo    : Otok, otok, entek, otok, otok entek.
Bapak  : Bunyinya entek, entek, begitu? (Bapaknya mencoba menggodanya)
Ardo    : Butan. Otok, otok entek, otok,otok, entek.
Bapak  : (tertawa) Oh, otok,otok tekek, otok,otok tekek, begitu?
Ardo    : Iya.
            Ardo yang berumur dua tahun itu sudah bisa membedakan antara bunyi bahasa, yang hanya berasal dari alat ucap manusia, dengan bunyi lain, yakni bunyi binatang tokek. Manusia sejak lahir sudah dikaruniai bakat, kemampuan untuk dapat membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi lain di sekitarnya. Ketika Ardo dipanggil namanya, ia akan menjawab. Tetapi, ketika, misalnya, ada seekor kucing mengeong di dekatnya, ia tidak akan menjawab, suara kucing itu. Mungkin ia bereaksi, tetapi jelas bukan untuk menjawab sang kucing, tidak seperti ketika ia dipanggil oleh teman, kakak, atau oleh ayah dan ibunya.
            Contoh peristiwa berikut ini adalah bukti bahwa anak manusia sejak lahir sudah dikaruniai bakat untuk dapat memiliki pengetahuan tentang kalimat yang mungkin dan kalimat yang tidak mungkin. Kalau mau tidur, lazimnya Ardo dininabobokkan oleh ibu atau bapaknya dengan lagu yang sudah sangat terkenal, yakni lagi Nina Bobok.
Ibu       : Nina bobok, oh, nina bobok. Kalau nggak bobok digigit nyamuk.
Ardo    : (tampaknya belum tidur, dan menirukan ibunya) Nina bobok, oh nina bobok,
 talau ndak bobok dididit pak aum. (Pak aum, maksudnya harimau).
Dari contoh itu jelas Ardo memproduksi ujaran yang belum pernah dipajankan sebelumnya. Ia mampu menghasilkan ujaran-ujaran baru, yakni ujaran-ujaran yang mungkin. Bentuk nyamuk digantinya dengan harimau yang memang secara gramatikal itu benar. Ia tidak akan memproduksi, misalnya, jika ndak bobok dididit minum. Ardo sudah mempunyai kemampuan bawaan bahwa bentuk minum dalam hal ini tidak dapat menggantikan posisi nyamuk. Bahkan dalam kesempatan yang lain ia memproduksi bentuk ujaran [dididit aak (kakak), dididit mama, dididit titus, dididit anjin], dan seterusnya. Jadi, kemampuan untuk membedakan kalimat yang gramatikal dan kalimat yang tidak gramatikal sudah merupakan bakat bawaan manusia.
            Perhatikan perilaku berbahasa Ardo pada contoh di atas. Ardo belum dapat mengucapkan bunyi [k, g, ]. Ia juga belum dapat mengucapkan bunyi [l, r]. Bahkan untuk menyebut [tokek] ia mengatakan [entek]. Seiring perjalanan waktu ia akan terus-menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan pada saatnya nanti ia pasti akan dapat mengucapkan bunyi-bunyi itu dengan tepat. Hal itu terjadi pada kakaknya, Fredo, yang sekarang sudah berumur 12 tahun. Pada usia lima tahun, Fredo mampu dengan baik mengucapkan bunyi, [k, g, l, r] dan juga dengan tepat ia mengucpkan tokek, meskipun pada saat seusia Ardo, Fredo juga menunjukkan perilaku berbahasa yang tak jauh berbeda dengan Ardo. Manusia mempunyai bakat untuk terus-menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan terus-menerus mengadakan revisi untuk pada akhirnya menuju bentuk yang berterima di lingkungannya.
            Argumentasi filosofis yang dikemukakan McNeill (1968) tentang LAD itu   benar-benar tepat dan langsung sasaran. Menurut McNeill, karena teori stimulus-respons itu begitu terbatas, maka masalah pemeroelhan dan pembelajaran bahasa itu jauh dari jangkauannya. Proposisi LAD benar-benar mengarah pada aspek rawan pemerolean  bahasa. Aspek makna, keabstrakan  dan kreativitas dapat dijelaskan meskipun hanya secara implicit. Jika tadi diconttohkan Ardo dapat secara kreatif membentuk frase baru digigit kakak, digigit bapak, digigit ibu, digigit anjing, digigit tikus dan sebagainya, kreativitas semacam itu dapat dilacak dan dijelaskan karena manusia dikaruniai bakat untuk berkreasi semacam itu. Ada piranti yang dipolakan dalam otak manusia. Siapa yang memberikan? Tuhan Yang Maha Agunglah yang memberikan karunia itu.
            Mungkin kita akan menyangkal akan adanya piranti pemerolehan bahasa  atau LAD itu karena pada kenyataannya piranti itu tidak kasat mata, tidak dapat diobservasi. Yang dapat kita ketahui atau yang dapat kita lacak adalah gejala pemerolehan bahasanya. Nah, Anda mungkin akan berkomentar bahwa kaum nativis dalam hal ini tidak akan lebih baik dari kaum behavioris untuk memecahkan misteri pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Namun, bagaimanapun juga, McNeill telah memberikan sumbangan penting untuk penelitian lebih lanjut seperti sistem bahasa yang abstrak, kesemestaan bahasa, teori makna, dan hakikat pengetahuan manusia. Ini merupakan arah permulaan yang positif yang menghasilkan banyak kemungkinan yang tidak diketahui oleh kaum  behavioris.
            Sumbangan lain kaum nativis yang dapat dianggap praktis ialah bukti bila kita melihat penemuan yang dibuat tentang bagaimana sistem bahasa anak itu bekerja. Chomsky, McNeill, dan koleganya membantu kita untuk melihat bahwa bahasa anak adalah sistem yang sah dalam sistem mereka. Perkembangan bahasa anak bukanlah proses perkembangan sedikit demi sedikit struktur yang salah, bukan dari bahasa tahap pertama yang lebih banyak salahnya ke tahapan berikutnya. Bahasa anak pada setiap tahapan itu sistematik dalam arti anak secara terus-menerus membentuk hipotesis dengan dasar masukan yang diterimanya dan kemudian mengujinya dalam ujarannya sendiri dan pemahamannya. Selama bahasa anak itu berkembang, hipotesis itu terus direvisi, dibentuk lagi, atau kadang-kadang dipertahankan. Ardo, misalnya, secara konsisten ia mengucapkan bunyi [k, g] menjadi [t dan d]. Perhatikan ucapan kata-kata berikut ini oleh Ardo.

butan                               bukan
atu                                    aku
patu                                   paku
doyen                                goreng
dobok                                 goblok
dsb.      

            Sebelum linguistik generatif menjadi terkenal, Jean Berko (1956) menunjukkan bahwa anak belajar bahasa bukan sebagai urutan yang terpisah-pisah, tetapi sebagai sistem yang integral. Dengan menggunakan tes kosakata yang tak bermakna, Berko menemukan bahwa anak yang berbicara bahasa Inggris sejak usia 4 tahun menerapkan kaidah pembentukan jamak, present progressive, past tense, tunggal ketiga dan posesif.
            McNeill dan kawan-kawan menyajikan kajian yang cepat tentang hakikat pemerolehan bahasa anak secara sistematik. Dengan membuang jauh-jauh kendala behavioristik, peneliti bebas untuk membuat konstruk hipotetis tentang bahasa anak, meskipun tata bahasa semacam itu selalu berdasarkan pada data yang solid. Tata bahasa ini merupakan representasi formal dari struktur batin, struktur yang tidak terwujudkan secara nyata dalam ujaran. Ahli bahasa mulai meneliti bahasa anak dari bentuk awalnya yakni telegrafis pada bahasa yang kompleks dari anak berusia 5 sampai 10 tahun. Dengan meminjam istilah struktural dan paradigma behavioristik, mereka mendekati data dengan makna pendahuluan untuk sistem yang konsisten secara internal, sama seperti para linguis mendeskripsikan bahasa dari data lapangan. Penggunaan kerangka generatif merupakan kajian dari metodologi struktural.
            Model generatif memungkinkan peneliti tahun 60-an mengambil langkah panjang untuk memahami proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa . Tata bahasa awal anak-anak mengacu pada tata bahasa tumpu (pivot grammar). Berdasarkan observasi, hal itu menunjukkan bahwa ujaran anak satu dua kata mula-mula merupakan perwujudan dua kelas kata terpisah dan bukan hanya dua kata yang dilemparkan bersama secara acak. Kaidah pertama bagi tata bahasa generatif ialah:
            Kalimat ------à kata tumpu  +  kata terbuka
            Pendekatan nativisme kepada bahasa anak sekurang-kurangnya mempunyai dua sumbangan penting untuk memahami proses pemerolehan bahasa pertama, yakni:
a)      bebas dari keterbatasan dari metode ilmiah untuk menjelajah sesuatu yang tidak tampak, tak dapat diobservasi, berada di bawah permukaan, tersembunyi, struktur kebahasaan yang abstrak yang dikembangkan oleh anak;
b)      deskripsi bahasa anak sebagai sistem yang sah, taat kaidah, dan konsisten.
c)      konstruksi sejumlah kekayaan potensial dari tata bahasa universal.

b. Kognitivisme  
            Kerangka nativis pun masih mempunyai kelemahan-kelemahan. Akhir tahun 60-an merupakan saksi pergeseran kontinuum, tetapi bergerak lebih pada hakikat bahasa. Kaidah generatif yang diproposisikan oleh kelompok nativis itu nerupakan sesuatu yang abstrak, formal, eksplisit, dan logis, meskipun mereka berkaitan khususnya dengan bahasa dan buka tataran bahasa yang sangat dalam, pada tataran di mana ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi diorganisasikan secara berhubungan struktur super pikiran manusia. Ahli bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan satu manifestasi dari perkembangan umum, satu aspek dari kemampuan kognitif dan afektif yang berkaitan dengan dunia dan dirinya sendiri. Para ahli bahasa mulai melihat bahwa kaum nativis sebenarnya gagal untuk menemukan hakikat makna yang sebenarnya. Kaidah yang diwujudkan dalam bentuk persamaan matematika pada hakikatnya gagal untuk menangkap sesuatu yang sangat penting dalam bahasa, yakni makna. Kaidah generatif yang dikembangkan oleh kaum nativis gagal untuk menangkap dan menjelaskan fungsi bahasa.
            Lois Bloom (1971) menunjukkan kritiknya terhadap tata bahasa tumpu (pivot grammar). Ia menunjukkan bahwa hubungan kata dalam ujaran telegrafik itu hanya mirip dalam permukaannya saja. Ujaran sepatu ibu, misalnya, oleh kelompok nativis selalu dianalisis terdiri atas unsur tumpu ibu dan kata terbuka sepatu. Menurut Bloom kalimat semacam itu bisa saja mengandung tiga buah kemungkinan, yakni:
  1. Ibu memakai sepatu;
  2. Ibu melihat sepatu;
  3. Sepatu ibu.
Dengan melihat data dalam teks, Bloom menyimpulkan bahwa yang mendasarinya ialah struktur dan bukan hanya urutan kata  dalam permukaan saja. Gejala yang tersembunyi  semacam itu tidak akan ditangkap dalam tata bahasa tumpu.
            Penelitian Bloom dengan Jean Piaget, Slobin, dan lain-lain, merupakan penunjuk jalan bagi gelombang baru atas kajian bahasa anak. Kali ini penelitian itu terpumpun pada prasyarat kognitif dari perilaku berbahasa. Piaget mendeskripsikan perkembangan menyeluruh sebagai hasil interaksi komplementer antara kapasitas kognitif perseptual pengembangan anak dan dengan pengalaman kebahasaannya.
            Slobin (1971) mengatakan bahwa dalam semua bahasa, belajar semantik bergantung pada perkembangan kognitif. Urutan perkembangan itu lebih ditentukan oleh kompleksitas semantik daripada kompleksitas struktural. Bloom (1976) menyatakan bahwa penjelasan perkembangan bahasa bergantung pada penjelasan kognitif yang terselubung. Apa yang diketahui anak akan menentukan kode yang dipelajarinya. Untuk memahami pesan  dan menyampaikannya.
            Dengan demikian, peneliti bahasa anak mulai mengatasi formulasi kaidah fungsi bahasa. Pada saat yang sama, ahli bahasa teoretis mulai menyadari bahwa tata bahasa teoretis dalam gaya Chomsky, tata bahasa transformasional mulai muncul dalam bentuk semantik generatif dan tata bahasa kasus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Terbaru